Daging Harus Penuhi Syarat ASUH

Daging ayam yang tidak memenuhi unsur Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) ternyata masih dijumpai di pasaran. Hal itu dibuktikan ketika tim inspeksi mendadak (sidak) dari Dinas Pangan Pertanian dan Peternakan Kabupaten Wonosobo mendatangi Pasar Garung di H-4 Lebaran, Rabu (21/6).

“Ada sedikitnya 7 ekor ayam yang ditemukan tidak dipotong secara sempurna karena masih ada saluran untuk makanan yang belum putus,” terang Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pangan, Pertanian dan Peternakan Wonosobo Sidik Driyono di sela sidak.

Kepada para pedagang, Sidik langsung menyampaikan ketidaksesuaian tersebut. Sebab kondisi ini, akan berpengaruh pada standar kehalalan daging. Para pedagang, ternyata banyak yang belum tahu standar ASUH.

Terkait imbauan agar lebih memperhatikan kualitas hasil penyembelihan sesuai standar yang ditetapkan pemerintah, para pedagang, diakui Sidik, cukup kooperatif dan berjanji untuk lebih berhati-hati lagi di masa-masa mendatang.

Selain memantau kualitas daging ayam, tim juga mendatangi penjual daging sapi untuk memastikan bahwa daging yang mereka jual merupakan daging sehat. Bukan berasal dari sapi gelonggongan maupun mengandung cacing hati.

“Untuk daging sapi tidak ada temuan, baik daging yang berkualitas buruk, maupun yang mengandung cacing hati,” tuturnya.

Selama dua hari ke depan, Sidik mengaku masih akan memantau beberapa pasar lain, seperti Pasar Kaliwiro dan Wadaslintang. Upaya ini demi memastikan pangan yang dikonsumsi masyarakat Wonosobo sudah sesuai standar baku mutu.

Kepala Dinas Pangan, Pertanian dan Peternakan Wonosobo Abdul Munir menuntut para penjual untuk memperhatikan secara seksama unsur ke halalannya. “Demi keamanan masyarakat, kami mendorong agar penjual produk pangan bersumber dari hewan agar memahami standar ASUH,” tegas Munir.

Tak sekadar imbauan semata, tim monitoring daging juga memberikan bantuan kepada pedagang untuk menjaga higienitas daging yang mereka jual ke konsumen. Bentuk bantuannya berupa satu buah celemek berbahan sintentis yang mudah dibersihkan serta sebuah pisau stainless berkualitas tinggi untuk memotong daging.

“Dengan mengenakan celemek berbahan sintetis ini kotoran mudah dibersihkan, sehingga tidak menimbulkan kotor pada daging. Dan pisau yang berkualitas ini untuk mereka, agar lebih mudah memotong daging dan lebih cepat melayani konsumen,” jelas Munir.

Pemerintah Diminta Petakan Potensi Ternak Sapi

WONOSOBO – Produktivitas sapi potong lokal ternyata belum sepenuhnya terpetakan oleh pemkab Wonosobo. Buktinya, setiap ada kenaikan harga daging, pemerintah seakan tak punya taji dalam mengontrol harga di tataran lokal, dan terkesan malas menggelar operasi pasar. Tak hanya itu, tataniaga daging sapi lokal juga masih kalah jauh dengan daerah lain yang cenderung menguntungkan peternak lokal. Sehingga mayoritasw peternak sapi potong wonosobo lebih tergiur untuk menjual sapi kualitas terbaiknya ke luar daerah.

“Kalau setiap ada pasar hewan, peternak di sini sering bawa ke beberapa daerah. Di dalam kota sendiri agak lesu, kemungkinan karena pasokan daging dari luar. Sebenarnya dari peternak cukup melimpah, bahkan selalu ada stok. Keinginan kami, mudah saja, pemerintah harus lebih dekat dengan peternak di desa,” ungkap Sartono, peternak asal dusun Kayugan, desa Tempuran Duwur, kecamatan Sapuran, kemarin (1/2).

Menurut Sartono, para petani di desanya masih setia beternak karena nilai jual yang cukup menguntungkan. Dengan modal awal Rp6 juta saja, dalam tiga tahun bisa meraup untung kotor sedikitnya Rp30 juta. Namun alih-alih menjual ke pasar lokal, para peternak cenderung memilih pasar luar daerah seperti Banjarnegara, Salatiga, dan bahkan Solo karena dari nilai transaksi dan harga lebih menjanjikan.

“Di beberapa daerah sudah ada alur yang bagus bahkan hingga pemerintah setempat juga terlibat di pasar hewan untuk mengontrol harga. Kalau di sini sampai sapi usia siap potong mungkin agak sulit terjual, sehingga banyak peternak di wilayah lain yang beralih dari sapi ke kambing,” imbuhnya.

Ketersediaan pakan ternak berupa rumput gajah juga mendukung peternakan di Tempuran Duwur dan dengan kondisi alam yang masih hijau, para peternak bahkan sering membiarkan sapi-sapinya untuk mencari makan di sekitar kandang. Dalam setahun saja, Sartono mengaku bisa menjual hingga 25 ekor sapi dewasa, baik miliknya maupun milik sesama peternak setempat.

“Kalau di sini yang masih kurang memang produksi untu ksapi perah, karena memang butuh modal yang tidak sedikit dan alur distribusi yang tetap. Selain itu karena akses jalan ke beberapa daerah penghasil sapi perah masih sulit, sehingga membuat pengusaha memilih pasokan dari daerah lain yang siap pakai,” imbuh Miskun Peternak sapi perah Kayugan.

Selain untuk menyukupi kebutuhan susu anak sapi miliknya sendiri, Miskun juga memanfaatkan susu sapi untuk kebutuhan keluarga dan belum berencana untuk menjualnya, seperti di kelompok tani lain. Menurut Miskun, kualitas air, ketersediaan rumput, dan juga lahan menjadi keunggulan dusun kayugan memiliki produktivitas tinggi dan diharapkannya bisa dimanfaatkan para peternak muda. (win-https://wonosoboekspres.wordpress.com)

Kentang Siap Goreng dari Petani Wonosobo

Kita sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sudah sepatutnya memiliki rasa syukur atas
sumber daya alam yang ada di wonosobo. Segala hasil bumi dari kabupaten wonosobo dapat
kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Kebutuhan pokok manusia salah
satunya adalah pangan, pangan tersebut didapat dari hasil mengolah sumber daya alam yang
ada menjadi sumber bahan makanan. Untuk mengolah sumber daya alam tersebut
dibutuhkan tenaga manusia, dalam hal ini diwakili oleh namanya Petani.

Profesi Petani saat
ini semakin tidak dilirik oleh kaum muda, mereka lebih memilih pekerjaan di luar pertanian.
Hal ini disebabkan pendapatan yang kurang menjanjikan di sektor pertanian, walaupun
sesungguhnya sektor tersebut sangat membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan semakin
sedikitnya profesi petani, maka banyak lahan produktif yang tidak dimanfaatkan atau dialih
fungsikan menjadi lahan non pertanian.

Kita harus menyadari bahwa saat ini banyak sekali
produk pangan di pasaran yang berasal dari luar wonosobo atau mungkin berasal dari negara
lain. Apabila hal ini dibiarkan, bagaimana cara kita bersyukur atas kenikmatan yang
diberikan Tuhan Yang Maha Esa atas Sumber Daya Alam di wonosobo. Untuk
menggairahkan potensi produksi pertanian di wilayah wonosobo, diperlukan kerjasama
mutualisme semua kalangan lapisan masyarakat dari berbagai profesi.

Cara yang dapat
ditempuh adalah lewat budaya menjadi konsumen sehat yang berani menghargai profesi
petani, seperti saat kita menghargai profesi lainnya seperti tukang parkir, buruh pabrik,
karyawan kantor, pedagang pasar, pedagang toko, guru, PNS dan lain sebagainya. Budaya
tersebut tidak mudah untuk diterapkan di masyarakat jika tidak ada kesadaran dari diri kita
sendiri dalam memahami sebuah profesi seseorang.

Semua profesi membutuhkan keahlian,
perhitungan, modal, dan lain sebagainya untuk menopang profesi tersebut. Konsumen Sehat
berhak untuk mendapatkan kebutuhan pangan yang sehat pula, sementara Produsen (Petani)
berhak mendapatkan pasar dengan harga yang wajar, sehingga pendapatan yang diterima
oleh petani dapat diatas Biaya Operasional Produksi (BOP). Selain itu yang terpenting adalah
petani dan konsumen mempunyai persamaan pemahaman Konsep Pangan Sehat antara lain :
(1) Syarat konsumsi pangan sehat, (2) Pengetahuan senyawa kimia yang berbahaya bagi
kesehatan, (3) Manajemen Pertanian Sehat, (4) Kepedulian Sumber Daya Manusia terhadap
kelestarian alam dan keramahan lingkungan, (5) Hubungan Sinergi antara Petani dan
Konsumen.

Hubungan sinergi yang indah antara konsumen dengan petani dalam satu
wilayah akan menciptakan pasar sehat dan menjaga kedaulatan pangan tanpa harus
ketergantungan pada produksi impor dari negara lain. Jika budaya konsumen sehat ini bisa
terwujud di daerah wonosobo, maka rasa keadilan sosial akan tumbuh dengan sendirinya dan
rasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dapat kita raih
bersama. Sehingga menjadikan Kabupaten Wonosobo yang makmur, gemah ripah loh jinawi.
Mari kita belajar mengkonsumsi hasil pertanian sehat lewat gerakan Yuk Konsumsi Sehat
(YKS) dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam di sekitar kita.

(http://blog.kecipir.com)

Kecamatan Sukoharjo Andalan Pertanian di Wonosobo

Sukoharjo dan Kalibawang boleh dibilang merupakan wilayah kecamatan yang relatif masih baru di Kabupaten Wonosobo di antara 12 kecamatan lain yang lebih dulu ada. Tetapi meskipun masih tergolong baru, perkembangannya cukup pesat, terutama dalam bidang pendidikan dan pertanian.

Kecamatan Sukoharjo berdiri 18 Juli 2001 sedang Kecamatan Kalibawang lahir dua tahun berikutnya, tepatnya 19 Juli 2003. Hingga kini Sukoharjo terhitung hampir berumur 12 tahun dan Kalibawang menapak usia 10 tahun.

Setiap 18 dan 19 Juli, dua kecamatan tersebut menggelar perhelatan hari jadi. Berbagai acara digeber di sana. Dari acara selamatan, pesta rakyat, pemeran potensi daerah hingga pertunjukan kesenian lokal.

Dalam peringatan hari jadinya, Sukoharjo pernah mencatat rekor MURI dengan membikin dodol salak pondoh terpanjang di Indonesia. Dodol dibungkus dalam plastik dan mencapai panjang hingga 500 meter.

Wilayah Terpencil Pemekaran dua wilayah Kecamatan Sukoharjo dan Kalibawang merupakan langkah yang tepat. Sebab, sebelumnya, desa-desa di dua kecamatan tersebut merupakan daerah terpencil, yang jauh dari akses pembangunan dan riuh-rendah keramaian kota.

Dulu 17 desa yang kini masuk di wilayah Kecamatan Sukoharjo, ikut Kecamatan Leksono. Jarak tempuh desa-desa tersebut dengan kecamatan lama cukup jauh, mencapai puluhan kilometer. Kini setelah ada kecamatan baru, jaraknya menjadi lebih dekat.

Sebelum ada pemekaran kecamatan, infrastruktur yang ada, berupa jalan, listrik, sarana kesehatan dan pendidikan sangat memprihatinkan.

Jalan masih sempit dan berupa tanah. Kondisi jalan yang tidak memenuhi syarat, tentu memengaruhi gerak ekonomi warga setempat. Saat ini sebagian jalan sudak diaspal (hotmix) , meskipun ada sebagian wilayah yang rusak berat dan terkesan diabaikan oleh yan berwenang dam pembangunan infrastruktur.

Semangat anak-anak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi juga rendah.

Kalaupun ada anak-anak yang terpaksa harus melanjutkan sekolah SMP hingga SMA musti berjalan kaki cukup jauh. Ini tentu sangat mempengaruhi tersedianya SDM di desa yang mumpuni.

Pusat Kesehatan Desa (PKD) di desa-desa juga belum ada. Maka wajar jika kesadaran warga menyangkut masalah kesehatan masih lemah.

Jika ada warga yang hendak dirawat di rumah sakit, harus ditandu dan melawati jalan tanah naik turun.
Kondisi tak jauh beda dialami warga Kalibawang.

Sebelum lahir kecamatan baru, 8 desa yang kini masuk wilayah kecamatan Kalibawang merupakan desa yang masuk di tiga kecamatan lama yakni Kaliwiro, Sapuran dan Kepil.

Pembentukan dua kecamatan baru sangat membantu aktivitas warga. Pasalnya, pelayanan administrasi kependudukan menjadi kian dekat. Anak-anak yang mau melanjutkan sekolah juga tidak perlu jauh-jauh ke Wonosobo.

Banyak Potensi Sebelum dibentuk kecamatan baru, Sukoharjo dan Kalibawang kerap dipandang sebelah mata. Sebagai daerah terpencil dan tak punya potensi yang diandalkan. SDM masyarakat setempat juga dianggap rendah.

Seiring berjalannya waktu, kini semua telah berubah. Sukoharjo yang dulu daerah terisolir dan tak punya potensi, saat ini telah disulap menjadi daerah andalan pertanian di Wonosobo.

Hal itu terjadi, sejak dibentuk kecamatan baru, ternyata semangat warga untuk membangun dan memberdayakan daerahnya sangat tinggi. Lahan-lahan yang dulu hanya ditanami ketela, telah dialihubah menjadi lahan buah-buahan.

Sukoharjo pun lambat laun menjadi daerah yang tersohor sebagai sentra salak pondoh, pisang, durian, petai dan nangka di Wonosobo. Bahkan karena potensinya, oleh Pemkab Wonosobo, Sukoharjo ditetapkan sebagai kawasan agropolitan Rojonoto.

Masuk dalam kawasan agropolitan Rojonoto karena Sukoharjo terhitung sebagai basis aneka produk pertanian unggulan di Wonosobo bersama kecamatan Kaliwiro, Leksono dan Selomerto.

Jika orang bilang salak pondoh di Wonosobo, sudah tentu kiblatnya pasti ke Sukoharjo.

Bahkan belakangan ini, warga Sukoharjo sudah mulai melakukan inovasi baru terkait pengolahan hasil pertanian, yakni dengan memproduksi dodol, sirup dan keripik salak pondoh.

Seolah tak mau kalah, Kalibawang bersicepat lari dari ketertinggalannya. Semangat warga Kalibawang membudiayakan vanili, cabe, kelapa, kayu albasia dan tanaman kopi, sebagai potensi pertanian di sana patut dicontoh.

Apalagi, dari tahun ke tahun, harga komoditas pertanian tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Produk industri rumahan gula aren oleh warga Mergolangu Kalibawang perlu terus dikembangkan.

Mengingat gula aren termasuk langka, karena tidak setiap daerah bisa memproduksi.

Kini seolah-olah Sukoharjo dan Kalibawang tengah bangkit menjadi daerah Agropolitan.

(http://lint4ng4yu.blogspot.co.id)