Kementan Dorong Modernisasi Pertanian Untuk Tekan Biaya Produksi Pangan

akarta (9/8) – Pemerintah upayakan berbagai program untuk kendalikan harga pangan. Upaya pengendalian dilakukan secara komprehensif, yaitu dari tingkat hulu ke tingkat hilir. Untuk pembenahan di tingkat hulu, Kementan jalankan beragam program yang dapat tekan biaya produksi petani, di antaranya melalui pemberian bantuan sarana produksi pertanian kepada petani. Kementan sejak 2015 lalu, secara berkelanjutan telah melakukan refocusing anggaran sehingga porsi bantuan untuk petani menjadi fokus utama anggaran belanja Kementan dibandingkan pos anggaran lainnya. “Melalui refocusing anggaran, Kementan dapat lebih memfokuskan anggaran untuk pemberian bantuan sarana produksi pertanian, seperti benih, pupuk, ataupun alat dan mesin pertanian.” Demikian disampaikan Plt Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Suwandi.

Pengalihan fokus anggaran ke sarana dan prasarana produksi pertanian juga tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk melakukan modernisasi pertanian. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, di lokasi panen raya Kecamatan Ciparay, Kab. Bandung (5/8) lalu, bantuan Alsintan sebagai bentuk modernisasi pertanian dapat meningkatkan produktivitas pertanian juga menekan biaya produksi. Petani diperkirakan bisa menghemat 30 hingga 50 persen. “Biasanya biaya tanam Rp 2 juta, sekarang Rp 1 juta. Ini teknologi solusi swasembada pangan,” ungkap Amran.

Modernisasi pertanian juga merupakan faktor penting dalam keberhasilan Indonesia meningkatkan produktivitas pangan. Untuk beras, misalnya, Indonesia telah secara signifikan berhasil meningkatkan produktivitasnya. Pada 2015, produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 75,55 juta ton. Angka ini meningkat 4,66 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 70,85 juta. Sedangkan produksi pada 2016 lebih dari 79 juta ton.

Selain modernisasi pertanian, Kementan juga terus upayakan optimasi lahan pertanian, baik dengan mengamankan lahan-lahan yang produktif, maupun mengoptimalkan lahan tadah hujan. Optimasi lahan tadah hujan dilakukan dengan mengintensifkan pembangunan embung serta bangunan air lainnya. Kementan tahun ini memprioritaskan 4 juta hektare lahan tadah hujan IP100 yang tersebar di Provinsi Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Untuk mewujudkan target ini, Kementan berkolaborasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Suwandi mengungkapkan bahwa pembangunan embung diharapkan dapat meningkatkan indek pertanaman (IP) dari IP 100 satu kali tanam menjadi IP 200 dan IP 300 atau tiga kali tanam.

Berbagai upaya pemerintah dalam meningkatkan produtivitas padi, berhasil mengamankan ketersediaan stok beras nasional. Sesuai data Bulog, saat ini stok beras sebanyak 1,76 juta ton. Stok tersebut mencukupi kebutuhan beras nasional hingga delapan bulan ke depan. “Jadi kurang tepat kalau disebut penyumbang terbesar harga beras adalah menipisnya stok karena hingga saat ini stok beras nasional masih aman,” tegas Suwandi.

Lebih lanjut, Suwandi menyampaikan bahwa untuk beberapa komoditas pangan strategis, termasuk beras, peran middleman dominan dalam mempengaruhi harga. Merujuk pada riset yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), harga beras dipengaruhi oleh pengusaha perantara, seperti penggiling dan pedagang besar. Hal ini menyebabkan disparitas harga di petani dan konsumen menjadi lebar. “Untuk itu, upaya pengendalian harga perlu dilakukan dari tingkat hulu ke hilir, dan membutuhkan sinergi antar lembaga,” ungkap Suwandi.

Di tingkat hilir, berbagai lembaga pemerintah bersinergi dalam tim Satgas Pangan untuk memperlancar sistem distribusi, logistik dan tata niaga. Pemerintah juga tetapkan harga acuan bawah untuk melindungi petani dan harga acuan atas untuk melindungi konsumen. Kebijakan ini terbukti dapat mengendalikan harga selama bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri yang lalu. “Kolaborasi yang dijalankan berbagai lembaga, termasuk Kementerian Pertanian di dalamnya, merupakan hal yang positif dan terbukti efektif menjaga harga stabil. Tentunya kinerja positif ini kami harapkan bisa terus berlanjut,” ucap Suwandi.

Kementerian Pertanian

Kementan: Petani adalah Pelaku Utama Pembangunan Pertanian

ementan menargetkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia 2045. Untuk capai misi tersebut, Kementan tempatkan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Kementan hadir sebagai fasilitator pembangunan yang berperan untuk memberdayakan dan mendukung petani secara maksimal. “Peran Kementan adalah untuk mendorong partisipasi aktif petani dalam mencapai swasembada pangan seraya meningkatkan kesejahteraan mereka,”ucap Plt Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Suwandi.

Lebih lanjut, Suwandi menyampaikan bahwa Kementan tempatkan swasembada pangan dan peningkatan kesejahteraan petani sebagai dua tujuan utama Kementan yang saling berkaitan. Program mencapai swasembada pangan sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan petani.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementan menjalankan pendekatan bottom-up planning dimulai dari identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani di lapangan sebagai bagian penting dalam perumusan kebijakan dan program pembangunan pertanian. Karena itu, kebijakan dan program yang dijalankan Kementan didasarkan pada kondisi lapangan dan dilakukan melalui pendekatan kesisteman (system approach). Dari pendekatan kesisteman tersebut, secara berturut-turut merevisi regulasi yang menghambat, membangun infrastruktur, mekanisasi pertanian, perbaikan teknis produksi, pendampingan dan penguatan SDM, penanganan pasca panen, serta pengendalian harga adalah parameter pengungkit yang mendapat prioritas dalam penyusunan program terobosan sesuai kebutuhan lapang.

Dalam upaya mendongkrak produktivitas pangan nasional, Kementan senantiasa mendorong berbagai inovasi di sektor pertanian. Pengembangan inovasi yang dikembangkan oleh Kementan memiliki syarat penting, yaitu memenuhi unsur pemenuhan kebutuhan petani sebagai pengguna inovasi dan pelaku utama pertanian secara spesifik lokasi. “Untuk itu, Kementan melalui Badan Litbang Pertanian melakukan pengkajian untuk memastikan inovasi yang dikembangkan Kementan, baik berupa varietas unggulan, metode budidaya, maupun penanganan hama, memang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan petani,” ucap Suwandi.

Keberhasilan Indonesia meningkatkan produktivitas padi pada tiga tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dari pengembangan inovasi yang bersumber dari identifikasi terhadap kebutuhan petani tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2015, produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 75,55 juta ton. Angka ini meningkat 4,66 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 70,85 juta. Sedangkan produksi pada 2016 mencapai lebih dari 79 juta ton. Peningkatan produtivitas beras adalah hasil dari inovasi yang dikembangkan Kementan dalam memecahkan permasalahan paceklik permanen yang terjadi karena luas tanam bulanan padi pada Juli sampai September yang hanya berada kisaran 500 – 600 ribu hektare. Kementan melakukan terobosan dengan menjaga luas tanam bulanan padi pada Juli – September minimal 900 ribu hektare.

Untuk mendukung program peningkatan produktivitas padi, Kementan mengerahkan aparaturnya baik Pejabat Eselon-1, Eselon-2 terjun ke lapangan dan aparatur pada 30 Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian (BPTP), bekerja sama dengan Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian Kabupaten, Penyuluh dan Babinsa untuk memonitor luas tambah tanam (LTT) padi di seluruh kawasan Indonesia setiap harinya. Selain memonitor LTT, aparatur BPTP juga turut mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani di lapangan. “penelusuran data dan fakta di lapangan sangat penting sehingga tim kami dapat secara cepat menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi petani. Kalau pendekatan komunikasi dilakukan secara kombinasi bottom up planning dan top down policy, sehingga memudahkan Indonesia mencapai swasembada pangan,” tegas Suwandi.

Peningkatan produktivitas pangan secara langsung berimbas kepada peningkatan kesejahteraan petani. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik, Gini Rasio di desa pada tahun 2016 menurun sebesar 0.007 dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) meningkat masing-masing 0,18 persen (101,7) dan 2,47 persen (109,8). Dengan demikian, Suwandi optimis kebijakan pembangunan pertanian yang dikembangkan saat ini dapat secara efektif meningkatkan kesejahteraan petani dan juga mencapai Visi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045.

Kementerian Pertanian