Hasil Seleksi Administrasi CPNS Kementerian Pertanian Tahun 2017

Berdasarkan hasil keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 74 Tahun 2017 Tanggal 31 Agustus 2017 Tentang Kebutuhan Aparatur Sipil Negara di lingkup Kementerian Pertanian dan Pengumuman nomor 3399/Kp.110/A/2017 tentang pelaksanaan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Pertanian Republik Indonesia Tahun Anggaran 2017, Setelah dilakukan verifikasi administrasi secara online, maka panitia seleksi CPNS Kementerian Pertanian Tahun 2017 menetapkan sebagai berikut :

Pengumuman Administrasi CPNS

Lampiran Pengumuman Peserta Lulus

Lebih Detail

Domba Wonosobo

Domba wonosobo merupakan hasil persilangan antara Domba Leicerter Longwoll dan Domba Lincoln dengan domba lokal Belanda. Domba ini masuk ke Indonesia sejak tahun 1955. Di Jawa Tengah perkembangannya ada di dataran tinggi Wonosobo yaitu di Desa Kwadungan Kec. Kalijajar. Pada tanggal 9 Maret 2006 Presiden RI mencanangkan domba ini dengan nama Domba Wonosobo Texel atau disebut Dombos dan di tahun 2011 oleh Menteri Pertanian ditetapkan sebagai Sumber Daya Ginetik Ternak Lokal Indonesia melalui SK Menteri Pertanian No 2915/kpts/OT.140/6/2011

Kontes Open Regional Jawa Tengah 2017

Kambing jenis Etawa ras Kaligesing asal Wonosobo berjaya di kontes Open Regional Jawa Tengah 2017, yang digelar di Lapangan Sampih, Desa Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Minggu (16/7). Dalam kontes yang digelar Pemkab bersama Perkkanas dalam rangka Hari Jadi ke-192 Wonosobo tersebut, etawa lokal berhasil keluar sebagai Juara di empat kelas, dari 8 kelas yang dilombakan. Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh Sidik Driyono ketika ditemui di kantornya, Senin (17/7) menyebut 4 kelas yang dijuarai etawa Wonosobo adalah kelas Betina A, Betina B, Betina D, dan Jantan A. “Para juara berasal dari 4 Kecamatan berbeda, yaitu Sapuran, Wadaslintang, Sukoharjo dan Watumalang, setelah menyisihkan peserta lain dari berbagai daerah di Jawa Tengah,” terang Sidik.

Kontes Open Regional, dijelaskan Sidik sudah menjadi even rutin tahunan pada setiap agenda Hari Jadi Kabupaten Wonosobo. Tujuan dari gelaran kontes tersebut, menurutnya adalah untuk memupuk semangat para peternak dalam membudidayakan etawa di Wonosobo. Potensi ternak, khsususnya jenis kambing etawa diakui Sidik mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga peternak, karena saat ini populasi kambing dinilainya semakin meningkat. “Secara populasi, kambing di Wonosobo saat ini berada di angka 156.476 ekor, jauh di atas populasi sapi yang berjumlah 21.580 ekor, serta masih di atas domba yang ada di angka 100.518,” bebernya. Gambaran potensi ternak tersebut, diungkap Sidik terlihat pada sepanjang Bulan Ramadhan dan Syawal lalu, ketika masyarakat memotong lebih dari 1.700 sapi, yang secara nilai lebih dari 32 Milyar Rupiah.

Selain menggelar kontes etawa, menurut Sidik pihaknya juga membuka kesempatan bagi para pemilik Domba lokal Wonosobo, atau yang biasa disebut Dombos untuk mengikuti lomba. Di kategori Domba lokal, Sidik mengatakan para peternak dari Kecamatan Kalikajar mendominasi kejuaraan, dimana hampir semua kategori juara direbut mereka. Pihaknya berharap agar di masa mendatang, semakin banyak peternak yang turut dalam lomba, dan dengan kualitas yang semakin baik. “Ekonomi keluarga juga akan meningkat seiring peningkatan kualitas ternak,” pungkasnya.

(Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Wonosobo)

Festival Kopi Wonosobo 2017

Para petani kopi pamerkan biji kopi unggulan dalam ajang festival kopi Wonosobo 2017 yang diadakan di Pendopo Kabupaten Wonosobo.

 

Wonosobo diyakini oleh beberapa pecinta kopi dunia sebagai wilayah yang mampu menghasilkan kopi terbaik. Hal tersebut disampaikan oleh Jaringan Diaspora Indonesia Region Kuwait ketika berkunjung ke Wonosobo, Jum’at (8/9). Bahkan pihak Diaspora mengaku siap membantu mengenalkan kopi Wonosobo untuk dikenalkan di daerah Timur Tengah lantaran kopi asal Wonosobo memilik aroma yang khas dan sudah dikenal sebagai kopi yang terbaik. Head Of Profession And Expertise Division Indonesia Diasporan Network Region Kuwait, Bogi Haryo Nugroho menyebut pengenalan kopi asal Wonosobo akan dilakukan dalam waktu dekat diantaranya melalui festival kopi di Kuwait. “Kami tertarik dengan kopi Wonosobo, setelah melihat sejumlah pameran kopi yang dihelat di Yogyakarta, ternyata banyak penyeduh kopi (barista) yang merekomendasikan bahwa kopi terbaik berasal dari Kabupaten Wonosobo,” terang Bogi..
Ketika Pria yang sudah tinggal 8 tahun berdomisili di Kuwait itu mendapat jawaban dari Barista asal Jogja, ia mengaku kaget, karena Wonosobo merupakan tanah kelahirannya. Bogi juga mengatakan bahwa peluang pasar kopi di kawasan Timur Tengah terbuka luas, utamanya di negara Kuwait. Bahkan kopi asal Indoensia yang masuk ke Timur Tengah masih sangat sedikit, dominasinya kopi sebagain besar dari Amerika dan Afrika. “Kami orang lapangan yang berinteraksi langsung dengan masyrakat luas disana. Apabila peluang ini dapat dioptimalkan oleh warga Indonesia khususnya Wonosobo, kami meyakini dapat mengangkat ekonomi masyarakat. Mengingat peluang tersebut menjanjikan. Tapi kami melihat orang-orang kita belum banyak yang mau mengambil peluang itu,” bebernya..
Sementara itu, penggiat kopi asal Wonosobo, Bayu mengemukakan bahwa peluang pasar yang begitu luas perlu menjadi perhatian semua pihak, utamanya petani kopi dan pemerintah Kabupaten. “Kita perlu menyikapi dan menyambut positif ajakan Diaspora Indoensia untuk mengenalkan kopi ke Kuwait,” ungkapnya.

.
Menurutnya, produksi kopi di Kabupaten Wonosobo sedikitnya mencapai 15 ton pertahun, dengan jumlah kopi specialty sebesar 3 ton. Kopi Wonosobo juga sudah masuk dalam MPIG kopi Sindoro Sumbing. Bahkan ketika Jogja ingin menjadi Kota Kopi, Wonosobo merupakan salah satu Kabupaten yang diajak oleh istri Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai penyangga kopi terbaik. “Petani dan pelaku bisnis kopi harus bersatu.Tapi dilain sisi motivasi dan peran pemerintah perlu ditingkatkan,” harapnya.
.

Hal tersebut, Wakil Bupati Agus Subagiyo mengemukakan bahwa peluang yang diberikan oleh komunitas Diaspora Indonesia untuk mempromosikan kopi asal Wonosobo di Timur Tengah, khusunya negara Kuwait, perlu disambut dengan baik. Pihaknya meminta kepada dinas terkait untuk memetakan potensi dan juga pengembangan kopi di Kabupaten Wonosobo agar mampu memenuhi kebutuhan kopi berkualitas baik di dalam neger maupun ekspor ke luar negeri. “Ini kesempatan untuk mengenalkan kopi Wonosobo agar mendunia,” pungkasnya. (Ard)

Minapolitan Waduk Wadaslintang

 

Pemerintah Kabupaten Wonosobo merencanakan untuk menata waduk Wadaslintang agar ke depan mampu berperan menjadi sentra perikanan, alias Kawasan Minapolitan.

Rencana tersebut, menurut Kepala Seksi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan dan Perikanan, Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Wonosobo, Heri Prasetya bakal diseriusi demi mengoptimalkan potensi yang dimiliki salah satu waduk terbesar di Asia Tenggara itu.

Ditemui di sela acara Fasilitasi dan Sosialisasi Pelestarian Waduk Wadaslintang, Selasa (6/12), Hery mengungkapkan pihaknya tengah berupaya untuk memberikan pemahaman kepada para Nelayan, terkait aturan mengenai penggunaan alat tangkap ikan yang benar.

“Melalui acara ini kami berharap agar para nelayan di kawasan waduk bisa mengerti bahwa ada aturan terkait penangkapan ikan, dan itu dilindungi oleh Peraturan Daerah,” tegasnya.

Acara yang dikemas dalam gelar sarasehan bersama Bupati Wonosobo tersebut, menurut Heri juga dimanfaatkan untuk menampung aspirasi para Nelayan, serta mencari solusi atas permasalahan-permasalahan yang muncul. Pemkab, ditegaskan Heri akan berupaya memberikan fasilitasi untuk meningkatkan kesejahteraan Nelayan di Waduk Wadaslintang. Fasilitasi yang dimaksud, di antaranya berupa penebaran ikan secara berkelanjutan serta bantuan sarana dan prasarana sesuai aturan yang berlaku.

Karenanya, seusai digelarnya sarasehan bersama para Nelayan, Heri mengaku pihaknya juga menebar tak kurang dari 292.500 ekor benih ikan, yang terdiri dari 150.000 ekor ikan jenis Nilem, dan 142.500 Ekor benih jenis Nila.

“Ini agar populasi ikan di Waduk Wadaslintang juga meningkat, sehingga produksi ikan tangkap juga kian bertambah setiap tahunnya,” terang Heri.

Inisiatif Pemkab melalui Dinas Pertanian dan Perikanan tersebut mendapat apresiasi dari para Nelayan Waduk Wadaslintang. Namun demikian, dalam acara itu mereka juga berharap agar Pemerintah membangun ataupun merehab Tempat pelalangan Ikan (TPI) di 4 titik, yaitu Erorejo, Sumbersari, Tritis dan Sumberejo. Hal itu, menurut para Nelayan penting demi terciptanya ketertiban pemasaran hasil ikan tangkapan.

Selain itu, Nelayan juga meminta Pemerintah merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 28 Tahun 2002 tentang Perlindungan Terhadap Ikan. Revisi tersebut dimaksudkan agar Perda lebih relevan dengan perkembangan perikanan di Wonosobo. (Donny/DNA)

sumber: rri.co.id

Pemerintah Diminta Petakan Potensi Ternak Sapi

WONOSOBO – Produktivitas sapi potong lokal ternyata belum sepenuhnya terpetakan oleh pemkab Wonosobo. Buktinya, setiap ada kenaikan harga daging, pemerintah seakan tak punya taji dalam mengontrol harga di tataran lokal, dan terkesan malas menggelar operasi pasar. Tak hanya itu, tataniaga daging sapi lokal juga masih kalah jauh dengan daerah lain yang cenderung menguntungkan peternak lokal. Sehingga mayoritasw peternak sapi potong wonosobo lebih tergiur untuk menjual sapi kualitas terbaiknya ke luar daerah.

“Kalau setiap ada pasar hewan, peternak di sini sering bawa ke beberapa daerah. Di dalam kota sendiri agak lesu, kemungkinan karena pasokan daging dari luar. Sebenarnya dari peternak cukup melimpah, bahkan selalu ada stok. Keinginan kami, mudah saja, pemerintah harus lebih dekat dengan peternak di desa,” ungkap Sartono, peternak asal dusun Kayugan, desa Tempuran Duwur, kecamatan Sapuran, kemarin (1/2).

Menurut Sartono, para petani di desanya masih setia beternak karena nilai jual yang cukup menguntungkan. Dengan modal awal Rp6 juta saja, dalam tiga tahun bisa meraup untung kotor sedikitnya Rp30 juta. Namun alih-alih menjual ke pasar lokal, para peternak cenderung memilih pasar luar daerah seperti Banjarnegara, Salatiga, dan bahkan Solo karena dari nilai transaksi dan harga lebih menjanjikan.

“Di beberapa daerah sudah ada alur yang bagus bahkan hingga pemerintah setempat juga terlibat di pasar hewan untuk mengontrol harga. Kalau di sini sampai sapi usia siap potong mungkin agak sulit terjual, sehingga banyak peternak di wilayah lain yang beralih dari sapi ke kambing,” imbuhnya.

Ketersediaan pakan ternak berupa rumput gajah juga mendukung peternakan di Tempuran Duwur dan dengan kondisi alam yang masih hijau, para peternak bahkan sering membiarkan sapi-sapinya untuk mencari makan di sekitar kandang. Dalam setahun saja, Sartono mengaku bisa menjual hingga 25 ekor sapi dewasa, baik miliknya maupun milik sesama peternak setempat.

“Kalau di sini yang masih kurang memang produksi untu ksapi perah, karena memang butuh modal yang tidak sedikit dan alur distribusi yang tetap. Selain itu karena akses jalan ke beberapa daerah penghasil sapi perah masih sulit, sehingga membuat pengusaha memilih pasokan dari daerah lain yang siap pakai,” imbuh Miskun Peternak sapi perah Kayugan.

Selain untuk menyukupi kebutuhan susu anak sapi miliknya sendiri, Miskun juga memanfaatkan susu sapi untuk kebutuhan keluarga dan belum berencana untuk menjualnya, seperti di kelompok tani lain. Menurut Miskun, kualitas air, ketersediaan rumput, dan juga lahan menjadi keunggulan dusun kayugan memiliki produktivitas tinggi dan diharapkannya bisa dimanfaatkan para peternak muda. (win-https://wonosoboekspres.wordpress.com)

Kentang Siap Goreng dari Petani Wonosobo

Kita sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sudah sepatutnya memiliki rasa syukur atas
sumber daya alam yang ada di wonosobo. Segala hasil bumi dari kabupaten wonosobo dapat
kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Kebutuhan pokok manusia salah
satunya adalah pangan, pangan tersebut didapat dari hasil mengolah sumber daya alam yang
ada menjadi sumber bahan makanan. Untuk mengolah sumber daya alam tersebut
dibutuhkan tenaga manusia, dalam hal ini diwakili oleh namanya Petani.

Profesi Petani saat
ini semakin tidak dilirik oleh kaum muda, mereka lebih memilih pekerjaan di luar pertanian.
Hal ini disebabkan pendapatan yang kurang menjanjikan di sektor pertanian, walaupun
sesungguhnya sektor tersebut sangat membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan semakin
sedikitnya profesi petani, maka banyak lahan produktif yang tidak dimanfaatkan atau dialih
fungsikan menjadi lahan non pertanian.

Kita harus menyadari bahwa saat ini banyak sekali
produk pangan di pasaran yang berasal dari luar wonosobo atau mungkin berasal dari negara
lain. Apabila hal ini dibiarkan, bagaimana cara kita bersyukur atas kenikmatan yang
diberikan Tuhan Yang Maha Esa atas Sumber Daya Alam di wonosobo. Untuk
menggairahkan potensi produksi pertanian di wilayah wonosobo, diperlukan kerjasama
mutualisme semua kalangan lapisan masyarakat dari berbagai profesi.

Cara yang dapat
ditempuh adalah lewat budaya menjadi konsumen sehat yang berani menghargai profesi
petani, seperti saat kita menghargai profesi lainnya seperti tukang parkir, buruh pabrik,
karyawan kantor, pedagang pasar, pedagang toko, guru, PNS dan lain sebagainya. Budaya
tersebut tidak mudah untuk diterapkan di masyarakat jika tidak ada kesadaran dari diri kita
sendiri dalam memahami sebuah profesi seseorang.

Semua profesi membutuhkan keahlian,
perhitungan, modal, dan lain sebagainya untuk menopang profesi tersebut. Konsumen Sehat
berhak untuk mendapatkan kebutuhan pangan yang sehat pula, sementara Produsen (Petani)
berhak mendapatkan pasar dengan harga yang wajar, sehingga pendapatan yang diterima
oleh petani dapat diatas Biaya Operasional Produksi (BOP). Selain itu yang terpenting adalah
petani dan konsumen mempunyai persamaan pemahaman Konsep Pangan Sehat antara lain :
(1) Syarat konsumsi pangan sehat, (2) Pengetahuan senyawa kimia yang berbahaya bagi
kesehatan, (3) Manajemen Pertanian Sehat, (4) Kepedulian Sumber Daya Manusia terhadap
kelestarian alam dan keramahan lingkungan, (5) Hubungan Sinergi antara Petani dan
Konsumen.

Hubungan sinergi yang indah antara konsumen dengan petani dalam satu
wilayah akan menciptakan pasar sehat dan menjaga kedaulatan pangan tanpa harus
ketergantungan pada produksi impor dari negara lain. Jika budaya konsumen sehat ini bisa
terwujud di daerah wonosobo, maka rasa keadilan sosial akan tumbuh dengan sendirinya dan
rasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dapat kita raih
bersama. Sehingga menjadikan Kabupaten Wonosobo yang makmur, gemah ripah loh jinawi.
Mari kita belajar mengkonsumsi hasil pertanian sehat lewat gerakan Yuk Konsumsi Sehat
(YKS) dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam di sekitar kita.

(http://blog.kecipir.com)

Kecamatan Sukoharjo Andalan Pertanian di Wonosobo

Sukoharjo dan Kalibawang boleh dibilang merupakan wilayah kecamatan yang relatif masih baru di Kabupaten Wonosobo di antara 12 kecamatan lain yang lebih dulu ada. Tetapi meskipun masih tergolong baru, perkembangannya cukup pesat, terutama dalam bidang pendidikan dan pertanian.

Kecamatan Sukoharjo berdiri 18 Juli 2001 sedang Kecamatan Kalibawang lahir dua tahun berikutnya, tepatnya 19 Juli 2003. Hingga kini Sukoharjo terhitung hampir berumur 12 tahun dan Kalibawang menapak usia 10 tahun.

Setiap 18 dan 19 Juli, dua kecamatan tersebut menggelar perhelatan hari jadi. Berbagai acara digeber di sana. Dari acara selamatan, pesta rakyat, pemeran potensi daerah hingga pertunjukan kesenian lokal.

Dalam peringatan hari jadinya, Sukoharjo pernah mencatat rekor MURI dengan membikin dodol salak pondoh terpanjang di Indonesia. Dodol dibungkus dalam plastik dan mencapai panjang hingga 500 meter.

Wilayah Terpencil Pemekaran dua wilayah Kecamatan Sukoharjo dan Kalibawang merupakan langkah yang tepat. Sebab, sebelumnya, desa-desa di dua kecamatan tersebut merupakan daerah terpencil, yang jauh dari akses pembangunan dan riuh-rendah keramaian kota.

Dulu 17 desa yang kini masuk di wilayah Kecamatan Sukoharjo, ikut Kecamatan Leksono. Jarak tempuh desa-desa tersebut dengan kecamatan lama cukup jauh, mencapai puluhan kilometer. Kini setelah ada kecamatan baru, jaraknya menjadi lebih dekat.

Sebelum ada pemekaran kecamatan, infrastruktur yang ada, berupa jalan, listrik, sarana kesehatan dan pendidikan sangat memprihatinkan.

Jalan masih sempit dan berupa tanah. Kondisi jalan yang tidak memenuhi syarat, tentu memengaruhi gerak ekonomi warga setempat. Saat ini sebagian jalan sudak diaspal (hotmix) , meskipun ada sebagian wilayah yang rusak berat dan terkesan diabaikan oleh yan berwenang dam pembangunan infrastruktur.

Semangat anak-anak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi juga rendah.

Kalaupun ada anak-anak yang terpaksa harus melanjutkan sekolah SMP hingga SMA musti berjalan kaki cukup jauh. Ini tentu sangat mempengaruhi tersedianya SDM di desa yang mumpuni.

Pusat Kesehatan Desa (PKD) di desa-desa juga belum ada. Maka wajar jika kesadaran warga menyangkut masalah kesehatan masih lemah.

Jika ada warga yang hendak dirawat di rumah sakit, harus ditandu dan melawati jalan tanah naik turun.
Kondisi tak jauh beda dialami warga Kalibawang.

Sebelum lahir kecamatan baru, 8 desa yang kini masuk wilayah kecamatan Kalibawang merupakan desa yang masuk di tiga kecamatan lama yakni Kaliwiro, Sapuran dan Kepil.

Pembentukan dua kecamatan baru sangat membantu aktivitas warga. Pasalnya, pelayanan administrasi kependudukan menjadi kian dekat. Anak-anak yang mau melanjutkan sekolah juga tidak perlu jauh-jauh ke Wonosobo.

Banyak Potensi Sebelum dibentuk kecamatan baru, Sukoharjo dan Kalibawang kerap dipandang sebelah mata. Sebagai daerah terpencil dan tak punya potensi yang diandalkan. SDM masyarakat setempat juga dianggap rendah.

Seiring berjalannya waktu, kini semua telah berubah. Sukoharjo yang dulu daerah terisolir dan tak punya potensi, saat ini telah disulap menjadi daerah andalan pertanian di Wonosobo.

Hal itu terjadi, sejak dibentuk kecamatan baru, ternyata semangat warga untuk membangun dan memberdayakan daerahnya sangat tinggi. Lahan-lahan yang dulu hanya ditanami ketela, telah dialihubah menjadi lahan buah-buahan.

Sukoharjo pun lambat laun menjadi daerah yang tersohor sebagai sentra salak pondoh, pisang, durian, petai dan nangka di Wonosobo. Bahkan karena potensinya, oleh Pemkab Wonosobo, Sukoharjo ditetapkan sebagai kawasan agropolitan Rojonoto.

Masuk dalam kawasan agropolitan Rojonoto karena Sukoharjo terhitung sebagai basis aneka produk pertanian unggulan di Wonosobo bersama kecamatan Kaliwiro, Leksono dan Selomerto.

Jika orang bilang salak pondoh di Wonosobo, sudah tentu kiblatnya pasti ke Sukoharjo.

Bahkan belakangan ini, warga Sukoharjo sudah mulai melakukan inovasi baru terkait pengolahan hasil pertanian, yakni dengan memproduksi dodol, sirup dan keripik salak pondoh.

Seolah tak mau kalah, Kalibawang bersicepat lari dari ketertinggalannya. Semangat warga Kalibawang membudiayakan vanili, cabe, kelapa, kayu albasia dan tanaman kopi, sebagai potensi pertanian di sana patut dicontoh.

Apalagi, dari tahun ke tahun, harga komoditas pertanian tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Produk industri rumahan gula aren oleh warga Mergolangu Kalibawang perlu terus dikembangkan.

Mengingat gula aren termasuk langka, karena tidak setiap daerah bisa memproduksi.

Kini seolah-olah Sukoharjo dan Kalibawang tengah bangkit menjadi daerah Agropolitan.

(http://lint4ng4yu.blogspot.co.id)